KLIKKAYU.COM – Bayangkan Anda berdiri di tengah hutan Kalimantan yang lebat. Udara lembab menyapu wajah Anda, sementara suara burung enggang bergema di kejauhan. Di sini, di antara raksasa-raksasa hijau yang menjulang, tersembunyi harta karun alam yang telah mengubah hidup banyak orang: kayu Kalimantan yang legendaris.
Saya masih ingat pertemuan pertama saya dengan Pak Harto, seorang pengrajin furnitur tua di Samarinda. Dengan tangan yang kasar namun cekatan, ia membelai sebuah potongan kayu ulin. “Nak,” katanya dengan mata berkaca-kaca, “kayu ini bukan sekadar kayu. Ini adalah cerita, perjuangan, dan mimpi.”
Cerita Pak Harto membuka mata saya. Kayu-kayu Kalimantan ini—ulin, meranti, bengkirai—bukan hanya bahan bangunan. Mereka adalah saksi bisu kehidupan masyarakat, penopang ekonomi, dan warisan budaya yang tak ternilai. Mari kita menyusuri kisah di balik kayu-kayu yang paling dicari ini, dan bagaimana mereka telah mengukir takdir banyak orang.
Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia, adalah rumah bagi hutan hujan tropis yang menakjubkan. Di sini, beragam jenis kayu tumbuh dan berkembang selama berabad-abad. Kayu Kalimantan telah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda sebagai bahan bangunan yang unggul. Namun, bagi masyarakat lokal, kayu-kayu ini lebih dari sekadar komoditas.
Pak Harto bercerita bahwa nenek moyangnya percaya setiap jenis kayu memiliki roh pelindung. Kayu ulin, misalnya, dianggap sebagai “raja hutan” karena kekuatannya yang luar biasa. Mereka menggunakannya untuk membangun rumah panggung yang tahan terhadap banjir dan serangan rayap. Sementara itu, kayu meranti yang berwarna merah jambu lembut digunakan untuk membuat perahu, karena diyakini membawa keberuntungan bagi para nelayan.
“Lihat ini,” Pak Harto menunjuk sebuah meja dari kayu bengkirai. “Dua puluh tahun lalu, saya membuatnya untuk anak saya yang baru lulus kuliah. Sekarang, cucuku menggunakannya untuk belajar. Itu kekuatan kayu Kalimantan.”
Kayu bengkirai, atau yang dikenal juga sebagai “kayu besi kuning”, memang terkenal dengan ketahanannya. Dengan berat jenis yang tinggi dan kandungan minyak alami, kayu ini tahan terhadap cuaca ekstrem dan serangan serangga. Tidak heran jika banyak digunakan untuk dek kapal dan jembatan.
Sementara itu, kayu meranti memiliki keunggulan pada estetikanya. Dengan warna yang bervariasi dari merah muda hingga merah tua, serta serat yang indah, meranti menjadi favorit para desainer interior. “Tapi jangan tertipu oleh kecantikannya,” tambah Pak Harto. “Meranti juga kuat. Lihat atap rumah saya? Sudah 50 tahun dan masih kokoh.”
Manfaat kayu Kalimantan tidak hanya terbatas pada konstruksi dan furnitur. Kayu kamper, misalnya, terkenal dengan aromanya yang khas. “Dulu, istri saya selalu menaruh potongan kayu kamper di lemari pakaian,” kenang Pak Harto. “Baju kami selalu wangi dan bebas dari ngengat.” Tidak mengherankan, karena minyak esensial dari kayu kamper digunakan dalam pembuatan minyak kayu putih, obat tradisional untuk meredakan pilek dan nyeri otot.
Di sisi lain, kayu ulin atau “kayu besi” tidak hanya digunakan untuk bangunan tahan air seperti dermaga dan tiang pancang. Di beberapa daerah, ulin juga dipakai untuk membuat patung dan instrumen musik tradisional. Suaranya yang dalam dan resonan membuat gamelan dari kayu ulin sangat dicari.
“Sekarang, harga kayu Kalimantan sudah tidak seperti dulu lagi,” Pak Harto menghela napas. Memang benar, permintaan global yang tinggi dan regulasi kehutanan yang lebih ketat telah mempengaruhi harga. Per Juni 2024, harga kayu ulin bisa mencapai Rp 15 juta per meter kubik, sementara bengkirai sekitar Rp 12 juta.
“Tapi itu wajar,” lanjut Pak Harto. “Kita harus menjaga hutan kita. Lagipula, harga bervariasi tergantung kualitas dan ukuran.” Kayu dengan serat yang lebih rapat dan minim cacat akan lebih mahal. Begitu pula dengan ukuran; balok besar untuk konstruksi jembatan tentu lebih mahal dibandingkan papan untuk lantai.
Sumber pemasok juga mempengaruhi harga. Kayu dari penebangan liar mungkin lebih murah, tapi resikonya besar. “Saya hanya beli dari pemasok resmi,” tegas Pak Harto. “Lebih mahal sedikit tidak apa-apa, yang penting hutan kita lestari.”
Saat memilih kayu untuk proyek tertentu, penting untuk memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing jenis. Misalnya, untuk dek kolam renang, bengkirai lebih unggul daripada meranti karena ketahanannya terhadap air. Namun, untuk furnitur dalam ruangan, meranti bisa jadi pilihan lebih baik karena warnanya yang hangat dan harganya yang lebih terjangkau.
“Tapi jangan remehkan kayu keruing,” Pak Harto mengingatkan. Meski tidak sepopuler ulin atau bengkirai, keruing memiliki kekuatan dan stabilitas yang luar biasa. “Untuk rangka atap atau lantai yang menahan beban berat, keruing adalah jagoannya,” jelasnya. Namun, karena serat kayunya yang kasar, keruing mungkin bukan pilihan terbaik untuk furnitur halus.
Di sisi lain, kayu kapur sering digunakan untuk konstruksi ringan dan cetakan beton karena mudah dikerjakan. “Tapi awas, kapur lebih rentan terhadap rayap dibanding ulin,” Pak Harto memperingatkan. Jadi, untuk bangunan di daerah lembab, mungkin lebih baik memilih ulin atau bengkirai.
Memilih kayu Kalimantan berkualitas membutuhkan pengetahuan dan ketelitian. “Pertama, periksa sertifikatnya,” saran Pak Harto. “Kayu legal akan memiliki dokumen dari Kementerian Kehutanan. Ini bukan cuma soal legalitas, tapi juga jaminan kualitas.”
Selanjutnya, perhatikan kondisi fisik kayu. “Ketuk kayunya. Suara nyaring menandakan kayu sehat. Kalau bunyinya tumpul, mungkin ada bagian yang lapuk,” jelas Pak Harto. Ia juga menyarankan untuk memeriksa kadar air kayu. “Kayu yang terlalu basah bisa melengkung saat dipakai. Idealnya, kadar air sekitar 12-15%.”
Dalam hal negosiasi harga, Pak Harto punya trik. “Tanya dulu asal kayunya, teknik pengeringannya. Pengetahuan ini bisa jadi modal tawar. Tapi ingat, jangan terlalu pelit. Harga yang terlalu murah biasanya ada ‘tapi’-nya.”
Matahari mulai condong ke barat saat saya pamit pada Pak Harto. Saya meninggalkan bengkelnya bukan hanya dengan pengetahuan baru tentang kayu Kalimantan, tapi juga dengan hati yang tersentuh. Kisah-kisahnya mengingatkan kita bahwa di balik setiap balok kayu ulin yang kokoh, setiap lembar meranti yang menawan, ada cerita perjuangan dan kearifan.
Kayu-kayu Kalimantan ini bukan sekadar bahan bangunan. Mereka adalah nafas kehidupan bagi masyarakat lokal, saksi bisu perubahan zaman, dan warisan alam yang harus kita jaga. Dalam setiap serat kayunya, tersimpan kisah cinta antara manusia dan hutan.
Ketika Anda memilih kayu untuk rumah atau furnitur Anda, ingatlah cerita Pak Harto. Pilihlah dengan bijak, bukan hanya berdasarkan kekuatan atau keindahan, tapi juga dengan penghargaan terhadap alam dan manusia yang telah merawatnya.
Sebagai penutup, saya teringat kata-kata Pak Harto saat kami berpisah. “Nak, setiap kali kamu menyentuh kayu Kalimantan, bayangkan kamu sedang memegang tangan nenek moyang kita. Mereka berbisik, ‘Jagalah hutan kami, karena di sana, mimpi dan harapan anak cucu kita tumbuh.'”
Mari kita dengarkan bisikan itu. Mari kita lestarikan hutan Kalimantan, rumah bagi kayu-kayu ajaib ini. Karena dengan menjaga mereka, kita tidak hanya membangun rumah dan furnitur, tapi juga masa depan yang lebih hijau dan penuh harapan.